Kisah Wahyu Gagak Emprit Embrio Berdirinya Kerajaan Mataram Islam Di Jawa

- 20 Maret 2023, 18:24 WIB
Kisah Wahyu Gagak Emprit Embrio Berdirinya Kerajaan Mataram Islam Di Jawa
Kisah Wahyu Gagak Emprit Embrio Berdirinya Kerajaan Mataram Islam Di Jawa /Youtube Mataram dalam 13 menit

MEDIA BLORA - Kisah wahyu Gagak Emprit sebagai cikal bakal kerajaan Mataram Islam memang sangat melegenda di kalangan masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kisah Wahyu Gagak Emprit bermula dari 2 orang tokoh murid Sunan Kalijaga yaitu Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan yang menjalankan laku tirakat tingkat tinggi di mana yang berhasil menjalakan laku tirakat tersebut nantinya anak keturunannaya akan menjadi raja raja di tanah Jawa.

Wahyu Gagak Emprit yang bersumber dari Sunan Kalijaga yang bunyinya kurang lebih begini :“Seng Sopo Wonge Ngombe Banyu Degan Sak Ndekan Soko Klopo Sing Degane Manglung Ngalor Ngetan Lan Deganne Mung Siji Mongko Anak Turune Bakal Dadi Rojo Ing Tanah Jowo”( Barang siapa yang meminum air dari kelapa muda yang tumbuh posisinya menghadap timur laut dan di minum dalam satu teguk maka anak keturunannya nanti akan menjadi raja raja di tanah jawa).

Adapun lokasi dari tempat Wahyu Gagak Emprit ini masyhur berada di daerah Gunung Kidul salah Satu Kabupaten Di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu di Desa Sodo, Paliyan Gunungkidul,namun ada beberapa sumber mengatakan berada di daerah Pati Selatan lebih tepatnya berada di Desa Sumbersoko Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati karena ini di buktikan adanya petilasan atau Makam Ki Ageng Giring juga ada di daerah tersebut dan banyak di ziarahi para peziarah.

Baca Juga: DOWNLOAD 20 Soal US Bahasa Indonesia Kelas 6 Semester 2 dan Kunci Jawaban Kurikulum 2013 TA 2022 2023

Berdirinya Kerajaan Mataram Islam tidak bisa lepas dari dua tokoh legendaris, yakni Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan. Dua tokoh inilah yang menerima wahyu keraton saat bertapa.

Ki Ageng Pemanahan bertapa di Kembang Lampir, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang. Sedangkan Ki Ageng Giring III yang juga masih sahabat Ki Ageng Pemanahan bertapa di alas Paliyan.

Ki Ageng Giring III menjadi salah satu sosok yang dikenal oleh masyarakat Jawa dan Yogyakarta hingga saat ini.

Kebenaran lokasi Wahyu gagak emprit apakah berada di Gunung Kidul atau berada di Pati selatan masih menyimpan banyak misteri karena semuanya mempunyai data pendukung yaitu adanya Makam atau petilasan pemilik wahyu gagak emprit tersebut yaitu KI Ageng Giring.

Wallahu alam karena kisah Wahyu gagak emprit dan sosok Ki Ageng Giring hingga sekarang kisah hidupnya berupa sebuah cerita tutur yang turun temurun disampaikan dari generasi ke generasi.

Namun Ki Ageng Giring III dalam sejarah sangat terenal bahwa beliaulah yang masyhur mendapatkan wahyu gagak emprit sebagai cikal bakal Mataram Islam namun wahyu gagak emprit yang bersemayam di dalam air degan kelapa muda tersebut justru diminum Ki Ageng Pemanahan yang juga sama-sama mendapatkan wahyu saat bertapa.

Suatu ketika Ki Ageng Giring yang telah memasuki hari terakhir dalam laku tirakatnya berpuasa dan memetik buah kelapa di pekarangan rumahnya dan menyimpannya dan ketika sore nanti akan di minum setelah pulang dari sawah dan merasa sangat haus.

Namun di saat yang bersamaan Ki Ageng Pemanahan yang juga saudara seperguruan dari Ki Ageng Giring datang bertamu ke rumah Ki Ageng Giring dan ketika sampai di rumah Ki Ageng Giring belum sampai di rumah dan Ki Ageng Pemanahan bertemu istri Ki Ageng Giring karena untuk menghormati tamu yang datang dari jauh dan hanya punya satu satunya degan atau kelapa muda tersebut di berikanlah kepada KI Ageng Pemanahan dan langsung di minum dalam satu tenggakan dan habis.

Ki Ageng Giring ketika kembali dari hutan hanya bisa meratapi saat mendapati air kelapa ‘gaib’ yang dia petik sudah tidak ada di tempatnya. Ki Ageng Pemanahan yang terdapat di situ, mengakui dirinya yang meminum air kelapa muda tersebut.

Ki Ageng Giring setelah mendengar perkataan sahabatnya itu merasa seakan hancur hatinya, sedih dan sangat kecewa. Lama dirinya terdiam. Pupus sudah dirinya menjadi penguasa di tanah Jawa.

Sebagai seorang yang memiliki kelebihan, maka dirinya pun mengetahui akan takdir, sudah suratan dari Tuhan, bahwa Ki Ageng Pemanahan akan menurunkan raja-raja yang menguasai tanah Jawa.

Betapa kecewa Ki Ageng Giring, melihat kenyataan yang terjadi sehingga hanya bisa pasrah. Namun dia menyampaikan maksud kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang keturunannya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram.

Upaya negosiasi antara Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan pun dilakukan begitu air kelapa muda tersebut habis diminum. Akhirnya keduanya menyepakati bahwa setelah keturunan raja ketujuh, maka yang berkuasa adalah keturunan dari Ki Ageng Giring III.

Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan terlibat dalam pembicaraan penting mengenai wahyu Gagak Emprit ini . Mereka mencari petunjuk dengan melakukan tirakat, berpuasa dan berdoa memohonkan petunjuk serta arahan dari Sang Pencipta alam.

Ki Ageng Giring melakukan tirakat untuk memperoleh Wahyu Mataram di Kali Gowang. Istilah gowang konon berasal dari suasana batin yang kecewa (gowang) karena gagal meminum air degan yang diminum Ki Ageng Pemanahan.

Sedangkan Ki Ageng Pemanahan melakukan tirakat di luar rumah Ki Ageng Giring. Hal ini cukup menyita banyak waktu hingga menjelang malam hari dan keduanya bersepakat menyebut nama wahyu yang diperoleh dengan “Wahyu Gagak Emprit".

Dua sahabat ini kemudian melanjutkan kembali pembicaraan tentang berbagai kisah, cerita-cerita masa lalu dan pengetahuan tentang wahyu. Berlanjut kepada keberadaan sejarah Kerajaan sejak zaman Hindu - Buddha sampai Islam.

Dalam diskusi mengenai wahyu tersebut diakhiri dengan permintaan Ki Ageng Giring agar diberikan jatah mengisi harapan kemulian di masa mendatang. Akan tetapi, Pemanahan masih belum menyetujui permintaan tersebut.

Pada permohonan terakhir itu, Ki Ageng Pemanahan dapat memahami perjuangan Ki Ageng Giring. Akhirnya, Ki Ageng Pemanahan menyetujui bahwa kelak keturunan Ki Ageng Giring akan menduduki tahta di Mataram.

Penghargaan itu kemudian menjadi kesepakatan dari mereka bahwa setelah enam generasi pemangku keraton dipegang oleh keturunan dari Ki Ageng Pemanahan, barulah diberikan kepada pemangku keraton yang masih keturunan langsung dari Ki Ageng Giring.

Pembagian kekuasaan antara keturunan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring dapat dilihat dari urutan penguasa Mataram:

1. Panembahan Senopati, putra Ki Ageng Pemanahan atau Kiai Ageng Mataram

2. Susuhunan Adi-Prabu Hanyakrawati, putra Panembahan Senopati

3. Panembahan Martapura, putra Hanyakrawati

4. Sultan Agung Hanyakrakusuma, putra Hanyakrawati

5. Amangkurat Agung (Tegal-Arum), putra Sultan Agung Hanyakrakusuma

6. Amangkurat Agung II, putra Amangkurat I

Pada keturunan selanjutnya tahta Mataram ditempati oleh Pangeran Puger atau Pakubuwono I yang konon adalah keturunan KI Ageng Giring. Pada Babad Nitik Sultan Agung, dikisahkan Ratu Labuhan, permaisuri Amangkurat I melahirkan bayi yang kurang sempurna.

Bersamaan itu, istri Pangeran Arya Wiramanggala dari Kajoran, Klaten yang masih keturunan Giring, Gunungkidul melahirkan seorang bayi sehat dan tampan. Amangkurat I yang mengenal Panembahan Kajoran sebagai orang sakti menitipkan anaknya.

Panembahan Kajoran merasa inilah momentum untuk menjadikan keturunannya sebagai raja. Dengan cerdik bayi Wiramanggala (kelak jadi Pangeran Puger) dikembalikan ke Amangkurat I dengan menyatakan upaya penyembuhan berhasil.

Singkat cerita, ketika Amangkurat III naik ke tahta muncul pergolakan yang terjadi dari dalam istana. Rakyat ketika itu juga meyakini bahwa wahyu keprabon (tanda-tanda gaib untuk seorang calon raja) jatuh kepada Pangeran Puger, pamannya.

Amangkurat III juga punya tabiat buruk, dirinya mudah marah, kerap bertindak sewenang-wenang, dan terkenal sebagai seorang hidung belang. Akhirnya dirinya hanya tiga tahun memerintah Mataram dan menyerahkan kekuasaanya kepada pamannya.

Dengan demikian, menjadi benarlah bahwa pada urutan yang ke-7, keturunan Ki Ageng Giringlah yang menjadi raja Mataram. Meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Namun tetap saja Pakubuwono I adalah raja yang berdarah Giring.***

Editor: M. In`Amul Muttaqin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x