Hiburlah Diri Anda dengan Bencana yang Menimpa Orang Lain, Isi Buku La Tahzan ini Mengejutkan

- 3 April 2022, 00:37 WIB
Ilustrasi Bencana
Ilustrasi Bencana /Cerdik Indonesia/Foto/Istimewa Dok. Warga
 
MEDIA BLORA- Berikut ini kami sajikan kutipan isi buku La Tahzan yang berjudul Hiburlah Diri Anda dengan bencana yang Menimpa Orang Lain.
 
Buku karangan Dr. 'Aid Al Qarni ditujukan kepada siapa saja yang merasa hidupnya selalu diselimuti dengan bayang-bayang gelisah dan rasa cemas. 
 
Termasuk menghibur diri dengan bencana yang menimpa orang lain. Maksut dari buku ini bukanlah bahagia di atas musiha orang lain.
 
Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pembaca, maka simak dan bacalah kutipan buku La Tahzan yang berjudul Hiburlah Diri Anda Dengan Bencana yang Menimpa Orang Lain Berikut ini:
 
Contoh yang paling nyata adalah keluarga Al-Baramikah, sebuah keluarga kaya, yang suka berfoya-foya, dan bergelimang kenikmatan. Bencana yang menimpa mereka adalah sebuah pelajaran, nasehat, dan contoh. Hanya dalam rentang waktu sehari, Harun ar-Rasyid berhasil menggulingkan mereka. Mereka lalai, mereka pulas tertidur di dalam selimut-selimut kenikmatan, dan bersenang-senang di dalam taman-taman kemewahan. Tiba-tiba pada suatu pagi, rumah mereka diruntuhkan, istana mereka dihancurkan, semua yang melindungi mereka ditewaskan, justru oleh tangan yang sangat dekat dengan mereka. Semua budak milik mereka dirampas. Darah mereka ditumpahkan, hingga mereka menjadi orang yang binasakan.
 
Dengan bencana itu, semua orang yang mereka cintai juga harus terluka hatinya. Sungguh tidak ada Rabb selain Allah. Tak terhitung kenikmatan yang harus terampas, dan tak terhitung pelajaran yang harus ditebus dengan darah.
 
{Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.}
 
(QS. Al-Hasyr: 2)
 
Sejam sebelum mereka dihancurkan, mereka masih dapat berjalan dengan sombong di atas bentangan kain sutera dengan gelas-gelas yang penuh dengan angan-angan. Namun tiba-tiba sebuah kejutan datang.
 
Itulah ketidakmampuan orang menghadapi bencana, jika ia mampu maka yang lain akan besar kepala, demikianlah hari-hari dan negeri dibinasakan.
 
Bertahun-tahun mereka terbuai dalam kantuk, terbuai oleh hati yang senang, dan mengabaikan hari-hari yang terus bergulir.
 
{Dan, kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan.}
 
(QS. Ibrahim: 45)
 
Bendera-bendera berkibar di atas kepala mereka dan bala tentara berbaris di sekeliling mereka. Seakan tidak ada yang bisa mendekatinya antara Hajun hingga Shafa, tidak ada teman ngobrol di Makkah.
 
Mereka tenggelam dalam kenikmatan, dan terbuai oleh waktu. Mereka mengira bahwa fatamorgana itu adalah air. Mereka mengira bahwa yang bengkak itu adalah timbunan lemak. Mereka mengira bahwa dunia ini kekal, dan kefanaan itu adalah kebakaan. Mereka menyangka bahwa barang titipan itu tidak harus dikembalikan. Mereka menyangka bahwa barang pinjaman tidak harus bertanggung jawab. Dan, mereka juga menyangka bahwa amanah tidak harus dikerjakan.
 
{Dan, mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.}
 
(QS. Al-Qashash: 39)
 
Orang yang lapar bertahun-tahun beragam warnanya, setiap zaman memiliki suka dan dukanya sendiri. Kehidupan ini tak kekal atas seseorang,
 
tidak bertahan dalam keadaan yang sama. Di pagi hari, mereka masih bisa bergembira, namun sore harinya mereka sudah ada di dalam kubur. Ketika Harun Ar-Rasyid sudah marah tak tertahankan, ia menghunus pedangnya. Dibunuhnya Ja'far ibn Yahya al Barmaki. Mayatnya disalib dan dibakar. Ayahnya, Yahya ibn Khalid, dan udaranya, Al-Fadhl ibn Yahya, dipenjarakan. Semua hartanya disita. Saat ulah banyak penyair yang menyenandungkan syair sedih atas peristiwa ibunuhnya keluarga Baramikah ini. Salah satunya adalah syair Ar-Raqasyi yang api ada yang menyebutkan sebagai syair Abu Nawas: Sekarang, kita dan kendaraan kami merasa tenang.
 
Katakan pada semua binatang tunggangan, telah aman dari perjalanan malam, dan gurun tandus itu telah terlipat. Katakan pada hematian, kau menang atas Ja'far tapi tidak setelah sebuah kegelapan
 
Katakan pada pemberian-pemberian karena kebaikan, istirahatlah, katakan pada bencana setiap hari, kau selalu baru
 
Tak ada lagi pedang Barmaki yang tersarung, kini ditebas oleh pedang Hasyimi yang terhunus.
 
Ketika melihat Ja'far di tiang pemancungan,
 
ar-Raqasyi mengatakan, Demi Allah, jika bukan karena rasa takut
 
terhadap tukang fitnah, dan mata khalifah yang tidak tidur, Aku akan berkeliling di sekitar tiang gantungan,
 
dan memeganginya seperti memegang Hajar Aswad Aku tidak pernah melihat sebelummu, anak Yahya seorang, pedang tajam yang menumpulkan pedang tajam
 
Kau berada dalam genggaman kenikmatan dan dunia ada di tanganmu,
 
namun kini selamat tinggal tuk negeri Barmaki Kemudian ar-Raqasyi dipanggil oleh ar-Rasyid dan ditanya, "Berapa uang yang Ja'far berikan kepadamu setiap tahunnya?" Jawab ar-Raqasyi, "Seribu dinar." Dan, ar-Rasyid pun memerintahkan pembantunya untuk memberinya dua ribu dinar.
 
Az-Zubair ibn Bakkar meriwayatkan dari pamannya Mush'ab ibn az Zubairi bahwa ketika ar-Rasyid membunuh Ja'far, datang seorang wanita dengan tetap duduk di atas keledai kendaraannya. Dengan bahasa yang sangat lugas dia berkata, "Demi Allah, wahai Ja'far, hari ini engkau menjadi sebuah tanda, karena sebelum hari ini engkau telah menjadi pusat harapan." Kemudian dia melantunkan sebuah syair,
 
Kala kulihat pedang telah menghunjam ke tubuh Ja'far seorang penyeru mengumumkan Yahya sebagai khalifah Kutangisi dunia, dan kuyakini batas cakrawala terdekat adalah hari ketika orang meninggalkan dunia. maka setelah itu ia dijatuhkan ke tempat paling rendah.
 
Semua itu karena pemerintah yang selalu berganti, yang berjaya dengan kenikmatan dan berakhir dengan bencana. Jika seseorang ditempatkan pada kedudukan tinggi raja,
 
Saat Abu Ja'far al-Manshur membunuh Muhammad ibn Abdullah ibn al-Hasan (salah satu pemimpin aliran Syiah Zaidiyah, w. 145 H-ed) dia mengirimkan kepalanya kepada ayahnya yang bernama Abdullah ibn al-Hasan yang saat itu sudah lebih dahulu dijebloskan ke dalam penjara. Penggalan kepala tersebut diantarkan oleh Rabi', pengawal utama al-Manshur. Penggalan kepala Muhammad itu oleh Rabi' diletakkan di hadapan bapaknya, Abdullah ibn al-Hasan. Kata Abdullah kepada anaknya yang tinggal kepala itu, "Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu, wahai Abul Qasim. Engkau termasuk orang-orang yang menepati janji Allah, yang tidak pernah mengingkari kesepakatan, yang selalu menyampaikan perintah Allah yang harus disampaikan, yang takut kepada Rabb, dan yang takut kepada hasil perhitungan buruk kelak. Kemudian dia menjelaskan dengan bait syair, Yang dilindungi oleh pedangnya dari kehinaan, cukuplah dengan menghindari semua keburukan.
 
Dia menoleh pada Rabi', kemudian berkata, "Katakan pada sahabatmu itu, telah berlalu saat-saat sulit kami, seperti halnya saat-saat kenikmatanmu yang telah berlalu pula. Yang menentukan waktu itu adalah Allah."
 
Cerita ini memberi inspirasi kepada al-Abbas ibn al-Ahnaf untuk menyusun bait-bait syairnya. Versi lain menyebutkan bahwa cerita itu memberi inspirasi Ammarah ibn 'Uqail untuk menyusun bait-bait syairnya sebagai
 
berikut: Perhatikan keadaanku dan keadaanmu sesekali tanpa pretensi, tak akan tampak bedanya.
 
Setiap hari kesulitanku berlalu bersama kenikmatanmu, akan terus dihitung
 
Dan kini, di mana Harun ar-Rasyid, dan di mana pula Ja'far al-Barmaki? Di mana yang membunuh dan yang dibunuh? Di mana yang memerintah dan yang dipemerintah? Di mana penguasa yang mengeluarkan perintah dengan berbaring di atas tempat tidur di dalam istananya? Di mana tempat orang yang dibunuh dan disalib itu? Semuanya telah tiada. Semua itu seperti hari kemarin yang telah lewat. Namun kelak, mereka akan dikumpulkan oleh Hakim Yang adil pada suatu hari yang tidak ada keraguan padanya. Hari di mana tidak ada lagi ketidakadilan dan kezaliman.
 
(Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabb-ku, di dalam sebuah kitab, Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa."}
 
(QS. Thâhâ: 51)
 
{(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.} (QS. Al-Muthaffifin: 6)
 
{Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabb-mu), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).}
 
(QS. Al-Haqqah: 18)
 
Tentang bencana yang menimpa keluarga al-Barmaki ini, Yahya ibn Khalid al-Barmaki ditanya, "Tahukah engkau sebab dari bencana ini?"
 
Jawabnya, "Mungkin, doa orang-orang yang dizalimi, yang dipanjatkan di malam hari ketika kami sedang lalai."
 
Abdullah ibn Mu'awiyah ibn Abdullah ibn Ja'far dipenjarakan. Di dalam penjara ia berkata, "Kami telah berusaha keluar dari dunia, namun masih saja sebagai penghuninya.
 
Kami bukan orang mati dan bukan pula yang masih hidup. Ketika seorang sipir penjara masuk, kami kagum dan berkata, orang ini datang dari dunia.
 
Kami gembira dengan mimpi-mimpi sehingga obrolan pagi pun adalah mimpi-mimpi.
 
Jika pun mimpi itu baik, maka sudah sangat terlambat, dan jika pun buruk akan segera datang, walau tidak ditunggu."
 
Bait terakhir dari syair di atas mengandung nada sikap pesimistis yang demikian tinggi. Mengingatkan saya pada dua bait syair yang tertulis dalam
 
Al-Bighal, karya al-Jahizh.
 
Ketika surat kehidupan telah dikirimkan lengkap dengan bencana zamannya,
 
ia akan terkirim dengan cepat.
 
Ketika yang dibawanya buruk, ia akan berjalan sehari semalam,
 
dan jika baik dia berjalan empat hari lamanya.
 
Syahdan, seorang raja Persia memenjarakan salah seorang bijak bestari. Di atas secarik kertas yang kemudian dikirimkan kepada raja, si bijak itu menuliskan: "Sesungguhnya, waktu-waktu yang berlalu dariku hanyalah akan mendekatkanku kepada kemudahan dan mendekatkanmu kepada bencana. Kini aku menunggu kelegaan, sedangkan kau sedang ditunggu oleh kebingungan."
 
Ibn Abbad, penguasa Andalusia, yang sedang tenggelam dalam foya foya dan banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan itu, juga ditimpa bencana. Di rumahnya ada banyak budak wanita, rebana, gendang, kecapi, dan lagu-lagu yang selalu menghiburnya. Suatu hari si penguasa ini meminta bantuan kepada Ibn Tasyfin-penguasa wilayah Maghrib-untuk melawan tentara Romawi di Andalusia. Dengan pasukannya, Ibn Tasyfin menyeberang lautan dan membantu Ibn Abbad. Oleh Ibn Abbad, Ibn Tasyfin dijamu di taman-taman yang indah, istana-istana megah, dan rumah-rumah mewah. Dia menyambutnya dengan gembira dan menghormatinya dengan penuh ketakziman. Tapi Ibn Tasyafin justru seperti singa yang matanya liar menatap setiap sudut, karena memang ada niat tersembunyi di hatinya.
 
Tiga hari kemudian, justru Ibn Tasyfin memerintahkan pasukannya untuk menyerang kerajaan yang rapuh itu. Ditawannya Ibn Abbad, dukatnya, dan dirampas kerajaannya. Rumah-rumahnya disita dan istana-istananya dihancurkan. Ibn Abbad kemudian dikucilkan dari taman-tamannya, dan dipulangkan ke Aghmat, tempat kelahirannya, sebagai seorang tawanan.
 
(Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).}
 
(QS. Ali 'Imran: 140)
 
Kekuasaan Andalusia pun jatuh ke tangan Ibn Tasyfin, dan ia 'cuci tangan' dengan alasan bahwa orang-orang Andalusialah yang memintanya dan menginginkannya untuk melakukan semua itu.
 
Beberapa waktu kemudian, puteri-puteri Ibn Abbad dengan kaki telanjang, mata sembab, wajah yang tak terurus, dan kelaparan datang membesuknya di dalam penjara. Ketika melihat mereka, dia menangis di depan pintu penjara seraya berkata,
 
"Dulu, kau selalu gembira dengan pesta-pesta,
 
namun kini kau jalani pesta itu di Aghmat sebagai tawanan. Lihatlah anak-anakmu dengan kain lusuh kelaparan merintih mereka tak punya kain setipis kulit ari sekalipun Mereka menemuimu dengan pasrah dan takluk, seakan belum pernah menginjakkan misik dan hapur" Kemudian, masuklah penyair Ibn Lubanah menemui Ibn Abbad seraya
 
pandangan mata mereka kuyu tiada bersinar Bersimpuh di atas tanah dan kakinya telanjang
 
berkata,
 
"Hiruplah wangi kedamaian yang telah aku lumuri dengan misik Katakanlah sebagai majas ketika tak kaudapatkan yang sebenarnya, engkau telah dianugerahi nikmat di masa dulu Hujan telah membuatmu menangis, angin telah mengoyak kantongnya, dan kilat mengeluh atas namams.
 
At-Tirmidzi meriwayatkan dari 'Atha", dari 'Aisyah bahwa dia pernah melewati kuburan saudaranya, Abdullah ibn Abu Bakar, yang dimakamkan di Makkah. Dia mengucapkan salam kepadanya dan berkata, "Wahai Abdullah, perumpamaan antara diriku dengan dirimu hanyalah seperti yang dikatakan Mutammim,
 
"Kita ibarat dua sahabat yang menyesal karena berjumpa sebentar, hingga dikatakan tak mungkin akan pernah berpisah Hidup dalam kebaikan dan kita menerimanya, kematian telah menjemput rombongan Kiara beserta pengikutnyo. Tatkala berpisah, serasa berpisah dengan seorang raja yang sudah lama bersama
 
seperti tak pernah kita bermalam walau semalam."
 
Setelah itu dia menangis, dan mengucapkan selamat tinggal.
 
Sedangkan Umar ibn Khaththab pernah berkata kepada Mutammim bn Nuwairah, "Wahai Mutammim, demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan Nya, ingin rasanya aku menjadi seorang penyair, lalu aku lantunkan sajak duka untuk saudaraku, Zaid. Demi Allah, angin sepoi dari Najd itu bertiup ke arahku dengan membawa harum aroma tubuh Zaid. Wahai Mutammim, Zaid masuk Islam sebelum aku, dia hijrah dan terbunuh sebelum aku juga."
 
Dan, Umar pun menangis..
 
Bani Ahmar, di Andalusia, sedang tertimpa musibah. Ibn Abdun, si penyair itu, menyatakan bela sungkawanya atas musibah yang menimpa mereka. Zaman akan risau setelah pejaman mata dengan sebuah bekas, tapi
 
mengapa harus menangisi bayangan dan gambar? Kularang engkau, kularang engkau.
 
Tak segan kunasehatkan agar engkau tidur di tengah kuku-kuhu lalu kau harapkan kemenangan.
 
Sungguh, jika telah menjadikan Amr sebagai tebusan,
 
singa,
 
maka Ali dan siapa saja juga akan dijadikan tebusan. (Maka, tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan).}
 
(QS. Hûd: 82)
 
(Sesungguhnya, perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.}
 
(QS. Yûnus: 24)
 
Demikianlah kutipan isi buku La Tahzan yang Semua hal di dalamnya adalah Ajakan untuk anda agar senantiasa hidup bahagia.***
 

Editor: Muhammad Ma`ruf


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah