4. Sultan Agung Hanyakrakusuma, putra Hanyakrawati
5. Amangkurat Agung (Tegal-Arum), putra Sultan Agung Hanyakrakusuma
6. Amangkurat Agung II, putra Amangkurat I
Pada keturunan selanjutnya tahta Mataram ditempati oleh Pangeran Puger atau Pakubuwono I yang konon adalah keturunan KI Ageng Giring. Pada Babad Nitik Sultan Agung, dikisahkan Ratu Labuhan, permaisuri Amangkurat I melahirkan bayi yang kurang sempurna.
Bersamaan itu, istri Pangeran Arya Wiramanggala dari Kajoran, Klaten yang masih keturunan Giring, Gunungkidul melahirkan seorang bayi sehat dan tampan. Amangkurat I yang mengenal Panembahan Kajoran sebagai orang sakti menitipkan anaknya.
Panembahan Kajoran merasa inilah momentum untuk menjadikan keturunannya sebagai raja. Dengan cerdik bayi Wiramanggala (kelak jadi Pangeran Puger) dikembalikan ke Amangkurat I dengan menyatakan upaya penyembuhan berhasil.
Singkat cerita, ketika Amangkurat III naik ke tahta muncul pergolakan yang terjadi dari dalam istana. Rakyat ketika itu juga meyakini bahwa wahyu keprabon (tanda-tanda gaib untuk seorang calon raja) jatuh kepada Pangeran Puger, pamannya.
Amangkurat III juga punya tabiat buruk, dirinya mudah marah, kerap bertindak sewenang-wenang, dan terkenal sebagai seorang hidung belang. Akhirnya dirinya hanya tiga tahun memerintah Mataram dan menyerahkan kekuasaanya kepada pamannya.
Dengan demikian, menjadi benarlah bahwa pada urutan yang ke-7, keturunan Ki Ageng Giringlah yang menjadi raja Mataram. Meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Namun tetap saja Pakubuwono I adalah raja yang berdarah Giring.***