Ancaman Nyata di Depan Mata, BMKG Serukan Dunia Bersatu, Ada Apa?

28 Mei 2022, 06:23 WIB
Ancaman nyata sudah di depan mata, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serukan dunia bersatu. Memangnya apa yang terjadi? /Yuni Astuti/www.bmkg.go.id

MEDIA BLORA – Ancaman nyata sudah di depan mata, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serukan dunia bersatu. Memangnya apa yang terjadi?

Pertanyaannya kemudian adalah apa ancaman nyata yang dikatakan sudah di depan mata yang sampai membuat BMKG serukan dunia bersatu?

Beberapa waktu yang lalu Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengajak komunitas internasional bergotong-royong membangun Multihazard Early Warning System, atau sistem peringatan dini multibencana yang andal untuk menghadapi bencana alam dan perubahan iklim.

Hal itu disampaikan Dwikorita saat membuka acara Third Multi-Hazard Early Warning Conference (MHEWC-III) yang digelar di Bali pada Senin, 23 Mei 2022.

Baca Juga: Terkubur di Indonesia, Harta Karun Nomor 1 Dunia Ini Kini Jadi Rebutan Elon Musk CS

Kepala BMKG menilai jika kesenjangan antar negara semakin menonjol, di mana masyarakat global dan pemerintah kewalahan dengan krisis ekonomi global dan nasional

"Gotong-royong menjadi pilihan terbaik di tengah situasi global yang tidak menentu akibat pandemi Covid-19," ujar Dwikorita dikutip MEDIA BLORA dari Antara, Sabtu, 28 Mei 2022.

Selain itu, Dwikorita menyatakan ketahanan sosial ekonomi menjadi tantangan utama bagi banyak negara.

Dia turut menyampaikan Bank Dunia telah merilis tingkat kemiskinan meningkat tajam menjadi 8-9 persen karena pandemi.

Angka tersebut jauh melampaui peningkatan angka kemiskinan akibat krisis moneter global pada tahun 1998 yang sekitar 1,3 persen.

Baca Juga: Di Indonesia Tumbuh Subur Tanaman Ajaib yang Bisa Menghasilkan Emas, Harta Karun Baru Ditemukan

Dengan demikian, angka kemiskinan yang ada saat ini hampir 6 sampai 7 kali lebih tinggi dari angka kemiskinan akibat krisis moneter sebelumnya.

Dwikorita menambahkan tantangan tersebut semakin berat dan kompleks seiring dampak perubahan iklim yang juga semakin nyata dan dinamika lempeng tektonik planet bumi yang menunjukkan tren peningkatan keaktifan.

Akibat perubahan iklim, peristiwa ekstrem semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama.

"Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) sendiri memproyeksikan bumi akan mengalami pemanasan jangka pendek hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri lima tahun ke depan atau tahun 2026. Proyeksi tersebut memiliki peluang mencapai 50 persen," jelas dia.

Kemudian, berdasarkan laporan Katalog Komposit Sistem Seismik Nasional Lanjutan, terjadi peningkatan tren seismisitas secara global, yang juga dikuatkan dengan data historis BMKG.

Baca Juga: Kenapa Bisa Terjadi Rob Parah di Semarang ?Ternyata Ini Penyebabnya Menurut BMKG

"Hal ini benar-benar menjadi tantangan serius kita semua untuk mempercepat pencapaian Target G Kerangka Sendai, terutama untuk mempercepat pencapaian resiliency atau ketangguhan terhadap bencana melalui penerapan peringatan dini di level nasional dan lokal," ungkap dia.

Dwikorita tak lupa menyoroti pentingnya kolaborasi dan sinergi serta mengedepankan kearifan lokal sebagai manifestasi resiliensi (ketangguhan) dalam upaya selamat dari bencana.

Sebab, Penerapan Peringatan Dini Multi Bencana merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan resiliensi tersebut.

Resiliensi atau ketangguhan menurutnya semakin kuat jika pengetahuan, budaya atau kearifan lokal dipadukan dengan teknologi yang tepat.

Dia menuturkan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang diwariskan turun temurun memiliki dampak signifikan terhadap keberhasilan peringatan dini bencana alam.

Baca Juga: Cacar Monyet Mulai Mewabah di Eropa, Amerika, Kanada dan Israel, Indonesia?

Begitu juga dengan peran-peran komunitas dan organisasi kemasyarakatan.

Lalu resiliensi kolaboratif seharusnya tidak hanya dikembangkan di level nasional saja, tetapi juga diimplementasikan untuk memperkuat kapasitas pemerintah lokal, dan pemimpin lokal atau adat, dan komunitas, berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan mereka

"Ini disebut hybrid socio-technical early warning system yang tidak hanya efektif, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam penerapannya," tandasnya.***

Editor: M. In`Amul Muttaqin

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Terpopuler