Dugaan Korupsi Pencairan Kredit BKK Kebumen 2011 Kerugian Rp8,7 Miliar, Kuasa Hukum: Tanggung Jawab Direksi

- 2 September 2021, 14:15 WIB
Ilustrasi korupsi.
Ilustrasi korupsi. /Pixabay

MEDIA BLORA - Negara mengalami kerugian Rp 8,7 miliar dalam perkara dugaan korupsi pencairan kredit Perusahaan Daerah (PD) BPR BKK Kebumen Tahun 2011.

Kerugian tersebut dinilai menjadi tanggung jawab direksi bank karena itu sudah sah resmi milik BKK Kebumen.

Menurut Taufiq Nugroho MH selaku Kuasa Hukum Giyatmo menilai bahwa itu tanggung jawab jajaran direksi perusahaan daerah BKK Kebumen yang merupakan pengelola keuangan PT BKK Kebumen.

Hal itu Merujuk keterangan ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr Mudzakkir yang dihadirkan di persidangan sebagai ahli, berdasarkan undang undang perjanjian, hukum perjanjian dianggap selesai ketika nasabah sudah melakukan pelunasan kepada bank.

Baca Juga: Ketahui Gejala Penyakit Jantung Koroner, 17.9 Juta Orang di Dunia Meninggal Setiap Tahun

 

Sebagimana dikutip MEDIA BLORA dari suaramerdeka.com dalam artikel berjudul Kerugian Negara dalam Perkara Dugaan Korupsi Pencairan Kredit BPR BKK Kebumen 2011 Jadi Tanggung Jawab Direksi.

"Terdakwa Giyatmo semestinya tidak bisa dihukum karena sudah melunasi pinjamannya. Soal uang yang digunakan hasil dari kejahatan Dian Agus, itu persoalan yang bersangkutan (Dian). Kerugian BKK Kebumen Rp 8,7 miliar seharusnya menjadi tanggung jawab direksi bank, karena Rp 8,7 M itu sudah sah resmi menjadi milik BKK Kebumen. Artinya kalau diserahkan kepada Hidayat, itu tanggung jawab BKK Kebumen," kata Taufiq usai sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Kamis, 2 September 2021.

Menurutnya, merujuk keterangan ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr Mudzakkir yang dihadirkan di persidangan sebagai ahli, berdasarkan undang undang perjanjian, hukum perjanjian dianggap selesai ketika nasabah sudah melakukan pelunasan kepada bank.

Baca Juga: Sertifikat Vaksin Jadi Syarat Pelayanan Publik, Ombudsman: Banyak Masyarakat yang Belum Mendapatkan Vaksin

Sehingga tidak ada hubungan hukum antara kreditur dan debitur.

"Ahli dari kami tidak setuju BKK itu uang negara, sebab menjadi PT. Sehingga jadinya aset PT, dan semestinya diselesaikan secara RUPS. Tidak ada uang negara, tetapi uang BKK," sebutnya.

Diketahui, perkara ini melibatkan tiga terdakwa. Selain Giyatmo (nasabah), juga Azam Fatoni (eks Dewan Pengawas BPR tersebut) dan Kasimin (eks Direktur Pemasaran).

Ketiganya dituntut secara terpisah oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kebumen.

Hasil audit Badan Pengawasan dan Pembangunan Jateng, kasus dugaan penyalahgunaan/penyimpangan pencairan kredit ini merugikan negara Rp 8,7 miliar.

Baca Juga: Vaksin Sinovac Diragukan, Testimoni Dokter Reisa : Saya Merasakan Betul Manfaat Vaksin Sinovac

Berdasarkan dakwaan, kasus ini berawal saat Giyatmo mengajukan permohonan kredit dengan total Rp 13 miliar.

Nilai pengajuan itu melebihi batas maksimum kredit.

Permohonan pinjaman atas persetujuan jajaran pimpinan di BKK tersebut, termasuk terdakwa Azam Fatoni dan Kasimin, dan dibuat seolah-olah menggunakan nama debitur lain.

Singkatnya pada Oktober 2011, terdakwa Giyatmo melunasi utangnya.

Berdasarkan putusan pengadilan, sumber uang tersebut hasil tindak pidana pencucian uang yang dilakukan bersama Dian Agus Risqianto dengan korban Hidayat.

Baca Juga: Kewajiban Seragam Sekolah di Bawah Kewenangan Pemprov Jateng, Ganjar: Sekolah Nggak Usah Memaksakan

Atas dasar itu, dana yang tersimpan di BKK Kebumen sebesar Rp 8,7 miliar dikembalikan kepada Hidayat.

Sehingga bank masih mengalami kerugian keuangan negara.

Dalam perkara ini, Giyatmo didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, subsider Pasal 3 UU yang sama.*** (Eko Fataip/Suara Merdeka)

Editor: Moch Eko Ridwan

Sumber: Suara Merdeka


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah