Berikut Sejarah dan Pelaksanaan Sistem Noken Di Sebagian Wilayah Adat Masyarakat Papua

- 26 Juni 2023, 08:28 WIB
Berikut Sejarah dan Pelaksanaan Sistem Noken Di Sebagian Wilayah Adat Masyarakat Papua
Berikut Sejarah dan Pelaksanaan Sistem Noken Di Sebagian Wilayah Adat Masyarakat Papua /Aplikasi Super/

MEDIA BLORA - Pemungutan suara dengan sistem noken atau sistem ikat di atur dalam rancangan PKPU tentang pemungutan dan penghitungan suara Pemilu serentak 2024.

Pasal 147 Ayat 1 yang berbunyi “Pemungutan Suara dengan sistem noken/ikat hanya diselenggarakan di Provinsi Papua, Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan pada kabupaten yang masih menggunakan noken”.

Noken atau minya adalah tas tradisional masyarakat Papua Pegunungan yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu. Sama dengan tas pada umumnya tas ini digunakan untuk membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Masyarakat Papua biasanya menggunakannya untuk membawa hasil-hasil pertanian seperti sayuran, umbi-umbian dan juga untuk membawa barang-barang dagangan ke pasar.

Karena keunikannya yang dibawa dengan kepala, noken ini di daftarkan ke UNESCO sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia. Pada 4 Desember 2012, noken khas masyarakat Papua ditetapkan sebagai warisan kebudayaan tak benda UNESCO

Dalam proses pemilu kemudian muncul istilah sistem noken dan sejarahnya  tidak diketahui secara pasti asal mula dari sistem noken namun konon gagasan penggunaan noken muncul secara spontan dalam sebuah pesta bakar batu yang merupakan sebuah tradisi di Papua.

Gagasan untuk memasukkan surat suara ke dalam noken diterima oleh semua hadirin pesta tersebut dan lalu terus diperkenalkan dan disebarkan ke berbagai tempat hingga akhirnya para kepala suku, tokoh adat, dan tokoh masyarakat menyepakati gagasan tersebut.

Baca Juga: 6 Manfaat Pisang Merah yang Belum Banyak Diketahui Orang, Cocok untuk Penurun Berat Badan

Dengan demikian, sistem noken digunakan dalam pemilihan umum legislatif, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden pada tahun 2009 di beberapa kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah Papua.

Majelis Rakyat Papua  yang merupakan sebuah lembaga perwakilan untuk penduduk asli Papua mengklaim bahwa suku-suku di wilayah adat Mee Pago dan La Pago sudah mempraktikkan sistem noken sejak lama. Menurut mereka, sistem ini pertama kali diterapkan di Republik Indonesia untuk pemilihan umum legislatif tahun 1971.

Sementara itu ada yang berpendapat bahwa sistem noken pertama kali digunakan untuk pemilu tahun 1999 yang merupakan pemilu jujur dan adil pertama setelah zaman Orde Baru.

Ada beberapa pihak yang meragukan bahwa sistem noken sudah dipraktikkan sejak lama oleh masyarakat Mee Pago dan La Pago.

Sebagian masyarakat juga berpendapat bahwa sistem noken diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia di Papua pada akhir dasawarsa 1970-an agar masyarakat Papua di pedalaman dapat diikutkan dengan sistem pemilihan umum nasional secara bertahap.

Ada sebagian yang berpendapat bahwa sistem noken tidak pernah digunakan untuk memilih kepala suku di wilayah Pegunungan Tengah Papua bahkan ada yang mengkritik penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara merupakan kesalahan penafsiran terhadap peran noken dalam kehidupan masyarakat Papua yang menegaskan bahwa tujuan noken bukan untuk mengumpulkan surat suara, tetapi untuk menunjukkan status atau kepemimpinan pemiliknya.

Baca Juga: Banyak yang belum tahu, Manfaat Daun Mangga untuk Kesehatan! Begini Caranya

Terlepas dari bermcam pendapat tersebut dan untuk mengakomodir partisipasi masyarakat di Papua yang mempunyai kearifan lokal khusus maka perlu adanya peraturan tentang pemungutan suara pada pemilu 2024 mendatang.

Sistem Noken dalam sistem pemilu yang juga disebut juga sistem ikat adalah sebuah sistem pemilihan umum yang digunakan khusus untuk sejumlah kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah di Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan, Indonesia.

Sistem ini dinamai dari noken, yaitu sebuah tas anyaman dari serat kulit kayu yang memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat Papua.

Sistem noken digunakan di wilayah adat Mee Pago Papua Tengah dan La Pago Papua Pegunungan. Walaupun tidak ada definisi umum untuk menentukan sistem pemilihan mana yang dapat dianggap sebagai sistem noken, secara umum terdapat dua pola sistem noken.

Pola pertama, yaitu sistem big man (pria berwibawa), menyerahkan pilihan sepenuhnya kepada kepala suku.

Kepala suku dapat melakukan pencoblosan untuk warganya atau sekadar memberitahukan pilihan masyarakatnya kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Pola kedua, yaitu sistem "noken gantung", ini dilandaskan pada hasil kesepakatan bersama masyarakat dengan kepala suku setelah melalui proses deliberasi yaitu melakukan pertimbangan yang mendalam dengan melibatkan semua pihak sebelum mengambil keputusan.

Pada hari pemilihan umum, tas noken berperan sebagai pengganti kotak suara.

Masing-masing noken melambangkan suatu calon, dan pemilihan dilakukan di muka umum dengan memasukkan surat suara ke dalam noken calon yang telah disepakati, atau dengan berbaris di hadapan noken tersebut.

Suara bisa diberikan kepada satu calon saja atau dibagi kepada beberapa calon sesuai kesepakatan sebelumnya. Namun, dilaporkan bahwa belakangan unsur deliberasi dan pemilihan umum dengan menggunakan noken sudah menghilang di lapangan.

Sistem noken juga menuai kritikan karena memicu sistem broker yang berujung pada politik uang; rentan dimanipulasi oleh elite politik serta mengorbankan hak pilih individu serta bertentangan dengan asas pemilihan umum yang bebas dan rahasia.

Hasil pemilihan umum sistem noken juga terbilang  ganjil bila dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, mengingat tingkat partisipasi mencapai bisa mencapai 100 % sementara jumlah suara tidak sah tidak ada sama sekali, dan perolehan suara calon di wilayah tertentu bisa mencapai 100%. Selain itu, pandangan Mahkamah Konstitusi bahwa sistem noken memelihara perdamaian juga dipertanyakan, karena sistem tersebut malah dianggap bisa memperburuk ketegangan dan konflik antaretnis.

Namun demikian karena harus ada solusi maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sistem noken adalah konstitusional karena dianggap sebagai pendekatan yang paling realistis untuk mencegah konflik dan disintegrasi. Selain itu, sistem noken juga dianggap oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari hak adat masyarakat wilayah Pegunungan Tengah.

Menurut antropolog Indonesia Tito Panggabean, terdapat dua pola sistem noken yang umum dipraktikkan di wilayah Pegunungan Tengah Papua.

Pola pertama adalah sistem big man (pria berwibawa). Pria berwibawa menjadi pemimpin bukan lewat warisan, tetapi dengan memenangkan persaingan melawan orang lain. Dalam sistem ini, pilihan diserahkan sepenuhnya kepada pria berwibawa sebagai bentuk ketaatan.

Pria berwibawa bisa mengambil semua surat suara masyarakatnya, mencoblos surat-surat suara tersebut, memasukkannya ke dalam noken, dan kemudian menyerahkannya kepada petugas KPPS, sementara masyarakat berkumpul di tempat pemungutan suara untuk menyaksikan hal tersebut. Ada pula pria berwibawa yang sekadar memberitahukan kepada penyelenggara pemilu jumlah suara yang diberikan kepada calon tertentu.

Pria berwibawa memiliki peran yang lebih kuat di wilayah Pegunungan Tengah Timur atau wilayah La Pago sehingga mereka cenderung memberikan suara yang bulat dalam pemilihan umum. Di wilayah Pegunungan Tengah Barat atau wilayah Mee Pago.

Peran pria berwibawa tidak sebesar di wilayah La Pago, dan ia cenderung memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk memilih.

Sementara itu, pola kedua disebut "noken gantung". Dalam sistem ini, masyarakat bersama dengan pria berwibawa melakukan deliberasi untuk menentukan bagaimana mereka akan memilih dalam pemilihan umum. Berdasarkan hasil kesepakatan tersebut, pada hari pemilu, masyarakat akan hadir di tempat pemungutan suara.

Noken-noken akan digantung di kayu yang telah ditancapkan di tanah, atau bisa juga dikenakan oleh sejumlah individu dan Noken kemudian menjadi pengganti kotak suara. Jumlah noken yang digantung disesuaikan dengan jumlah calon, dan masing-masing noken mewakili satu calon. Biasanya setiap noken dilengkapi dengan nama dan gambar calon. Setelah itu, terdapat beberapa variasi metode pemungutan suara.

Berdasarkan salah satu variasi, pemilih akan berbaris di hadapan noken yang mewakili calon pilihan mereka, dan petugas KPPS kemudian akan menghitung jumlah mereka. Berdasarkan variasi yang lain, pemilih akan memasukkan surat suara yang belum dicoblos ke dalam noken yang melambangkan calon pilihan mereka. Petugas KPPS kemudian akan mencoblos surat suara tersebut untuk mereka.

Berikut proses deliberasi yang berlangsung untuk sistem noken gantung. Setelah penetapan nama calon kepala daerah, anggota legislatif, atau presiden, anggota suku akan mulai berkumpul dan membahas bagaimana mereka akan memilih.

Diskusi bisa dilangsungkan di berbagai tempat, seperti di rumah adat, halaman tempat ibadah, atau halaman rumah tertentu, dan pertemuan tersebut dikepalai oleh tokoh masyarakat. Mereka membagi informasi mengenai latar belakang masing-masing calon. Mereka juga membahas sumbangsih calon bagi wilayah mereka apabila calon berasal dari tempat yang sama.

Pembahasan dilakukan hingga tercapai kesepakatan. Sebagai contoh, mereka bisa memutuskan untuk mengalokasikan suara kepada calon ini dan calon itu.

Menurut peneliti Pusat Studi Strategis dan Internasional Vidhyandika Djati Perkasa, pembagian suara dilakukan untuk menghindari konflik, terutama apabila calon-calon berasal dari kampung mereka atau kampung yang tidak jauh dari tempat mereka

Sistem noken pertama kali dituangkan ke dalam regulasi teknis dalam bentuk Keputusan KPU Papua No.01/KPTS/KPU Prov.030/2013,walaupun petunjuk teknis ini hanya menyebutkan bahwa noken dapat menggantikan kotak suara.

Kemudian, KPU dalam Keputusan Nomor 810/PL.02.6-Kpt/06/KPU/IV/2019 mendefinisikan sistem noken atau ikat sebagai suatu bentuk kesepakatan bersama atau aklamasi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang dilakukan oleh kelompok masyarakat adat sesuai nilai adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal masyarakat setempat.***

Editor: M. In`Amul Muttaqin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah