Sehingga tidak ada hubungan hukum antara kreditur dan debitur.
"Ahli dari kami tidak setuju BKK itu uang negara, sebab menjadi PT. Sehingga jadinya aset PT, dan semestinya diselesaikan secara RUPS. Tidak ada uang negara, tetapi uang BKK," sebutnya.
Diketahui, perkara ini melibatkan tiga terdakwa. Selain Giyatmo (nasabah), juga Azam Fatoni (eks Dewan Pengawas BPR tersebut) dan Kasimin (eks Direktur Pemasaran).
Ketiganya dituntut secara terpisah oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kebumen.
Hasil audit Badan Pengawasan dan Pembangunan Jateng, kasus dugaan penyalahgunaan/penyimpangan pencairan kredit ini merugikan negara Rp 8,7 miliar.
Baca Juga: Vaksin Sinovac Diragukan, Testimoni Dokter Reisa : Saya Merasakan Betul Manfaat Vaksin Sinovac
Berdasarkan dakwaan, kasus ini berawal saat Giyatmo mengajukan permohonan kredit dengan total Rp 13 miliar.
Nilai pengajuan itu melebihi batas maksimum kredit.
Permohonan pinjaman atas persetujuan jajaran pimpinan di BKK tersebut, termasuk terdakwa Azam Fatoni dan Kasimin, dan dibuat seolah-olah menggunakan nama debitur lain.